Rabu, 24 Desember 2014

PERSIAPAN INDONESIA MENUJU MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Oleh R. Rr. Ariska Desy Ariyanti

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagaangan bebas antara Negara-negara asean. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang dianut dalam Visi 2020, yang didasarkan pada konvergensi kepentingan negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi melalui inisiatif yang ada dan baru dengan batas waktu yang jelas. dalam mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip terbuka, berorientasi ke luar, inklusif, dan berorientasi pasar ekonomi yang konsisten dengan aturan multilateral serta kepatuhan terhadap sistem untuk kepatuhan dan pelaksanaan komitmen ekonomi yang efektif berbasis aturan.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan membentuk ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal membuat ASEAN lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme dan langkah-langkah untuk memperkuat pelaksanaan baru yang ada inisiatif ekonomi; mempercepat integrasi regional di sektor-sektor prioritas; memfasilitasi pergerakan bisnis, tenaga kerja terampil dan bakat; dan memperkuat kelembagaan mekanisme ASEAN. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Namun sebuah studi terbaru menunjukkan rencana integrasi ekonomi ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dinilai justru dapat memperbesar kesenjangan antar negara di kawasan tersebut. Selain itu, MEA juga dinilai lebih menguntungkan laki-laki dibandingkan perempuan.
Mengutip Channel News Asia, Kamis (21/8/2014), pasar tunggal ASEAN dapat menambah 14 juta lapangan kerja dan menggenjot pertumbuhan ekonomi tahunan ASEAN menjadi 7,1 persen pada 2025. Data-data tersebut berdasarkan studi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Meski demikian, MEA juga membunyikan alarm perolehan pertumbuhan takkan terdistribusi secara merata. Di samping itu, rencana integrasi ekonomi juga akan meningkatkan jurang pemisah antara kaum kaya dan miskin di kawasan tersebut.
Dengan adanya permasalahan yang semakin rumit ini, peran mahasiswa sangatlah penting dalam menghadapi fenomena baru Masyarakat Ekonomi ASEAN ini di Indonesia. Apalagi setelah mengetahui bahwa Indonesia dengan kekayaan alam yang besar ternyata ekspornya hanya didominasi oleh barang-barang berupa bahan baku alam (raw material), seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi. Indonesia masih kalah bersaing dengan negara-negara industri utama ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Pengolahan bahan baku alam yang merupakan hasil Indonesia masih selalu dilakukan oleh negara lain, Indonesia belum mampu menguasai kekayaan alamnya sendiri.
Kondisi seperti ini perlu adanya penyadaran bagi kaum-kaum muda sebegai generasi penerus bangsa ini. Generasi muda harus mempersiapkan dirinya ketika pasar bebas ASEAN sudah diberlakukan tahun 2015. Keberlanjutan negara ini ada di tangan kaum muda-mudi, ketika kesadaran akan pentingnya membenahi diri untuk menghadapi MEA bagi para generasi muda tidak ada, Indonesia nantinya akan terjual ke negara lain dan negara Indonesia akan dikuasai oleh negara lain.
             Dukungan dari generasi muda untuk menghadapi MEA merupakan salah satu kekuatan Indonesia untuk dapat bertahan dalam persaingan pasar bebas. Generasi muda perlu membuat berbagai kegiatan diantaranya yaitu menciptakan usaha sendiri selagi mahasiswa, mensosialisasikan MEA dan mengajak kaum muda lain untuk meningkatkan daya wirausaha sehingga usaha-usaha baru akan muncul dan bisa mempertahankan perekonomian negara.
Selanjutnya saya akan membahas tentang sosial budaya. Dengan adanya sistem Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, memanglah akan mempermudah untuk mengenalkan keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, bagaiamana dengan budaya asing yang bisa saja masuk ke Indonesia dengan tidak terkontrol?
        Ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah bergulir maka secara tidak langsung interaksi berbagai budaya yang berbeda akan semakin mudah masuk dan mewarnai atmosfir kebudayaan Indonesia. Di mana budaya-budaya tersebut tidak semuanya baik, akan tetapi juga memiliki dampak buruk terhadap nilai-nilai budaya Indonesia sendiri, ideologi bangsa, serta identitas bangsa Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu disiapkan pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila pada masyarakat, terutama pada mahasiswa calon pemimpin bangsa. Dengan cara di antaranya adalah memberi pemahaman mendalam tentang nilai – nilai Pancasila kepada masyarakat, memakai baju produksi dalam negeri di kehidupan sehari – hari, memakai baju batik setiap hari Jumat seperti yang dilakukan mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya, memperdalam pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di Indonesia, berusaha untuk tidak terpengaruh dengan budaya luar yang umumnya kaum muda untuk lebih tertarik kepada budaya tersebut dibanding budaya Indonesia sendiri, dan lainnya. Dengan begitu generasi muda merupakan salah satu tonggak keberhasilan tujuan negara, karena kaum mudalah pemegang keberlanjutan negara. 
 

DAFTAR PUSTAKA

Euodia Saragih, Arion.2014. Peran Mahasiswa Menghadapi Pasar Bebas ASEAN.(Online),(http://m.kompasiana.com/post/read/634662/1/peran-mahasiswa-menghadapi-pasarbebas-asean.html) diakses pada 28 November 2014. 
 
Harian Kompas.2014. Indonesia Bisa Terpukul oleh MEA. (Online), (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/21/120300826/Indonesia.Bisa.Terpukul.oleh.MEA) diakses pada 29 November 2014.

Rabu, 26 November 2014

Perspektif Birokrasi Max Weber



        Max Weber memusatkan pada usaha mengembangkan konstruksi teoretis guna menjelaskan keterkaitan berbagai bidang kehidupan yang mendasari bangunan sosial kemasyarakatan. Menurut pandangannya, birokrat yang ideal adalah mereka yang menjadi staf dalam birokrasi yang ideal. Pandangan ini banyak ditegaskan harus digunakan sebagai titik awal atau titik tolak untuk memahami konsep – konsep birokrasi yang saling bersaing.
            Dasar filsafat politik Max Weber dan konstruksi birokrasi idealnya dapat ditemukan dalam karyanya Politic as a Vocation yang dibacakan dalam pidatonya di Universitas Munich pada tahun 1918. Dimulai dengan konsep tentang “negara” (state), dimana Weber lebih melihat negara dari sisi sarana (alat) yang dimilikinya. Weber menyatakan the state is a human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory (Gerthband Mills, 1958:78). Negara adalah sebuah masyarakat manusia yang dibenarkan momopoli penggunaan kekuatan yang memaksa secara fisik di dalam suatu wilayah tertentu.
            Menurut Weber, negara tidak dapat didefinisikan dari sisi “tujuan”-nya tetapi harus dilihat dari sisi sarana yang dimilikinya. Sarana utama dari negara adalah dibenarkannya dan dimonopolinya penggunaan kekuatan memaksa secara fisik. Konsekuensinya, negara akan mencerminkan dibenarakannya dominasi manusia terhadap manusia. Negara bisa saja mendelegasikan penggunaan kekuatannya untuk memaksa. Oleh karena itu, negara akan tetap menjadi sumber utama bagi dibenarkannya penggunaan kekerasan.
            Politik berkaitan langsung dengan negara sebagai sumber asalnya kekuasaan untuk memaksa. Pendekatannya terhadap politik tidak diragukan, seperti pemikir lainnya, politik lebih dilihat sebagai persoalan tentang “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (who gets what, when, and how). Bagi Weber, politik adalah usaha untuk mendapatkan kekuasaan atau pengaruh antar negara dan di antara kelompok – kelompok yang ada dalam suatu negara.
            Para politisi melakukannya melalui kekuasaan kepemimpinan politik negara. Untuk meraih kedudukan tersebut, sifat ambisius merupakan ciri dari seorang politisi dan para pemimpin politik. Penghargaan terhadap seorang pemimpin politik, akan tergantung kepada apa yang dilakukannya dan tanggung jawabnya tidak dapat dan tidak boleh ditolak ataupun dialihkan. Bagi Weber, sikap ambisius dari politisi bersumber pada sesuatu yang menjadi keyakinannya, politisi akan lebih banyak digerakkan oleh keyakinannya. Apa pun bentuk dan sumbernya, keyakinan tertentu harus selalu ada pada diri politisi. (Simmons and Dvorin, 1977:189).
            Sebagai orang yang penuh keyakinan, seperti ditegaskan Weber seorang politisi ia tidak akan mengejar kepentingan pribadinya secara besar-besaran dalam melaksanakan kekuasaan negara. Sebaliknya, politisi harus menghindarkan diri dari konsekuensi dari setiap kebijakannya. Hal ini sangat berbeda dari pegawai birokrasi sipil yang harus menghindarkan diri dari konsekuensi tersebut. Dalam analisis Weber, politisi akan dihadapkan pada dilemma terus meneerus antara alat (sarana) dengan tujuan. Politisi harus memecahkan konflik yang dihadapi ini. Oleh karena itu, seorang politisi adalah seorang manusia yang penuh kesadaran. Dalam beberapa hal, dia pun akhirnya akan sampai pada suatu titik dimana dia akan mengatakan “disinilah saya berdiri dan saya tidak dapat bertindak yang lainnya”. Itulah sesuatu yang sebenarnya terjadi pada manusia (manusia sejati) dan yang menggerakkannya.., (Simmons and Dvorin 1977:190).
            Seorang politisi, apakah ia memperoleh kekuasaan secara legal (melalui undang-undang atau peraturan yang diciptakan secara rasional) atau melalui kepatuhan umum (kewenangan yang berasal dari keturunan sebelumnya), atau melalui karisma (kualitas kepemimpinan pribadi), ia akan selalu berusaha mempertahankn dominasinya secara terus menerus. Kelangsungan dominasi ini akan tergantung kepada “kelangsungan administrasi”-nya. Weber menggambarkan seorang politisi di dalam sistem semidemokrasi sebagai subjek untuk mentransfer kehendak, menolak, atau menarik diri pada saat-saat tertentu. Sebalikanya, hanya pejabat administrasi yang dapat memberikan persyaratan bagi kelangsungan agar dominasi kekuasaan negara tidak terhancurkan. Konsekuensinya, secara politik para pemimpin yang dominan akan tergantung kepada administrasi yang mantap, berkelangsungan, dan efisien.
            Tugas utama pegawai birokrasi sipil adalah menangani administrasi yang tidak memihak (impartial administration). Ia kurang menaruh perhatian pada nilai-nilai, tujuan, atau konsekuensi yang timbul. Dalam kenyataannya, seperti digambarkan Weber bahwa aparat birokrasi sipil adalah mereka yang secara ideal sedikit sekali memiliki kesamaan dengan politisi. Barangkali Weber-lah yang menegaskan pembenaran secara klasik memisahkan sisi kebijakan dengan administrasi (perumusan dengan pelaksanaan kebijakan), atau perlunya pemisahan (dikotomi) antara politik, dan administrasi publik.
            Weber menyajikan secara detail tentang organisasi birokrasi ideal dalam karyanya berjudul Birokrasi yang diterbitkan pada tahun 1922. Weber percaya bahwwa salah satu karakteristik utama masyarakat industry adalah dorongan untuk merasionalkan proses sosial dan ekonomi. Rasionalisas yang di maksud adalah … the calculated matching means and ends to achieve social and economic objectives with the greatest possible efficiency (pemaduan sarana dan tujuan sosial dan ekonomi seefisien mungkin (Islamy, 2003:18). Oleh karena itu, jenis birokrasi “tipe ideal” atau “model organisasi yang rasional”.
Weber memusatkan perhatian pada pertanyaan: mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem organisasi. Otoritas tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka tidak suka, itulah sebabnya tidak ada otoritas yang tergantung pada motif-motif ideal. Weber mengemukakan tiga tipe ideal dari otoritas, yaitu sebagai berikut :


1.     Otoritas Tradisional

Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana di berlakukan dimasa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. Para pemegang otoritas merasa takut untuk merenggangkan cara pengerjaan tradisional,  karena perubahan berikutnya akan menggerogoti sumber-sumber legitimasinya.


2.     Otoritas Kharismatik

Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin seperti ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuannya. Para pengikut mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang memaksanya untuk patuh. Menurut Weber tipe otoritas tradisional dan tipe kharismatik terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi industri.


3.     Otoritas Legal-Rasional

Otoritas ini didasarkan atas aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan secara legal. Kesetiaan atau kepatuhan adalah manakala seseorang melaksanakan otoritas kantornya hanya dengan loyalitas formal dan pimpinannya dan hanya dalam jangkauan otoritas kantornya. Otoritas legal-raisonal memang didasarkan atas aturan-aturan yang pasti. Aturan bisa saja terdapat perubahan untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi didalam lingkungannya secara sistematis, dan mengandung perkiraan masa mendatang.
           
Weber terkenal dengan konsepnya mengenai organisasi Birokrasi yang ideal dengan menyertakan 5 karakteristik utama, antara lain :

  Ø  Pertama, adanya pembagian tugas pekerjaan (division of labor) untuk masing-masing pegawai yang telah ditetapkan secara jelas dan dilaksanakan oleh pegawai yang memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab bagi tercapainya tujuan secara efektif.

  Ø  Kedua, adanya prinsip hierarki dalam organisasi (the principle of hierarchy) di mana struktur organisasi yang ada di bawah berada dalam pengendalian dan pengawasan struktur organisasi di atasnya.

  Ø  Ketiga, pelaksanaan tugas diatur oleh sistem peraturan (system of rules / code) yang terus diberlakukan secara konsisten untuk menjamin adanya uniformitas kinerja setiap petugas dan tanggung jawab masing-masin pegawai bagi pelaksanaan tugasnya.

  Ø  Keempat, pegawai ideal adalah pegawai yang bekerja atas semangat formalistic impersonality atau sine era et studio, yaitu bekerja atas dasar ketidakberpihakan kepada siapa pun agar terlaksana pekerjaan secara efisien, adanya perlakuan yang tidak adil bagi semua orang serta adanya persamaan dalam pelayanan administrasi.

Ø  Kelima, adanya sistem karier (career system) dlam pekerjaan. Penerimaan pegawai berdasarkan atas hasil seleksi terhadap kemampuan profesionalnya dan promosi didasarkan atas senioritas atau prestasi dan sesuai dengan penilaian atasannya. Sistem karier ini berperan untuk menumbuhkan kesetiaan pada organisasi dan semangat kerjasama (esprit de corps) diantara pegawai (Islamy, 2003:18-19).

Menurut Weber, jika kelima karakteristik di atas diaplikasikan ke dalam Birokrasi maka Birokrasi tersebut dapat dikatakan legal-rasional. Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.

Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:


   ü Kolegialitas.
Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

    ü  Pemisahan Kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.

    ü  Administrasi Amatir.
Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi dan mengawasi selama pelaksanaan tugas tersebut.

    ü Demokrasi Langsung.
Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggungjawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.

    ü Representasi.
Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka. 

Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki dasar-dasar berupa prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan tersebut di atas, maka organisasi tersebut akan dapat mengatasi ketidakefisienan dan ketidakpraktisan yang sangat tipikal yang ditemukan pada banyak organisasi pada masa itu. Weber juga melihat bahwa birokrasi merupakan bentuk paling efisien dari suatu organisasi dan merupakan instrumen yang paling efisien dari kegiatan administrasi berskala besar. Jika orang membicarakan tentang organisasi, maka akan selalu kembali pada analisis dan pemikiran Weber. Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber. Tapi dari semua konsep pemikiran Birokrasi dari Max Weber bukan berarti semua setuju atau mengikuti konsepnya, ada sebagian orang yang menentang ataupun mengkritik konsep Birokrasi dari Max Weber itu, sehingga muncullah konsep lain selain dari konsep yang dimiliki oleh Max Weber. 


1. KELEBIHAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER

] Ada Aturan, Norma, dan Prosedur untuk Mengatur Organisasi

Dalam model teori birokrasi Max Weber, ditekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber percaya bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada peraturan untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya, peraturan-peraturan itu tertulis. Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya

] Ada Spesialisasi Pekerjaan dan Job Description yang Jelas

Dalam sistem ini, terdapat pembagian tugas yang spesifik, seperti halnya mesin, dimana setiap orang hanya mengerjakan pekerjaan tertentu yang telah didelegasikan kepadanya. Dengan demikian, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan cepat serta tidak ada benturan kepentingan karena masalah overlapping pekerjaan. 
]Ada Hierarki Otoritas yang Formal, Sehingga Memudahkan Pengkoordinasian
Dengan adanya hierarki otoritas, masing-masing pekerja tahu dimana posisinya dan otomatis akan mengikuti perintah supervisor/atasannya, sehingga proses pengkoordinasian pekerja menjadi mudah.



2. KEKURANGAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER

] Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan Cenderung Kaku

Karena sistem hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku dalam organisasi.

] Aturan dan Kontrol yang Terlalu Rinci

Menyebabkan Impersonality atau Melupakan Unsur-Unsur Kemanusiaan. Tidak ada antusiasme maupun keceriaan dalam organisasi karena segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa. Manusia disamakan dengan mesin yang tidak punya hati dan hanya bekerja demi perusahaan.
 

DAFTAR PUSTAKA

Indah Mindarti, Lely.2007. Revolusi Administrasi Publik Aneka Pendekatan
dan Teori Dasar”.Malang : Bayumedia Publishing.

Nessiaprincess.2013.MAX WEBER THEORY OF BUREAUCRACY”.(online),

(https://communicationista.wordpress.com/2009/12/19/max-weber-theory

of-bureaucracy/).

diakses pada 19 November 2014.