Max
Weber memusatkan pada usaha mengembangkan konstruksi teoretis guna menjelaskan
keterkaitan berbagai bidang kehidupan yang mendasari bangunan sosial
kemasyarakatan. Menurut pandangannya, birokrat yang ideal adalah mereka yang
menjadi staf dalam birokrasi yang ideal. Pandangan ini banyak ditegaskan harus
digunakan sebagai titik awal atau titik tolak untuk memahami konsep – konsep
birokrasi yang saling bersaing.
Dasar filsafat politik Max Weber dan
konstruksi birokrasi idealnya dapat ditemukan dalam karyanya Politic as a Vocation yang dibacakan
dalam pidatonya di Universitas Munich pada tahun 1918. Dimulai dengan konsep
tentang “negara” (state), dimana Weber lebih melihat negara dari sisi sarana
(alat) yang dimilikinya. Weber menyatakan the
state is a human society that (successfully) claims the monopoly of the
legitimate use of physical force within a given territory (Gerthband Mills,
1958:78). Negara adalah sebuah masyarakat manusia yang dibenarkan momopoli
penggunaan kekuatan yang memaksa secara fisik di dalam suatu wilayah tertentu.
Menurut Weber, negara tidak dapat
didefinisikan dari sisi “tujuan”-nya tetapi harus dilihat dari sisi sarana yang
dimilikinya. Sarana utama dari negara adalah dibenarkannya dan dimonopolinya penggunaan
kekuatan memaksa secara fisik. Konsekuensinya, negara akan mencerminkan dibenarakannya
dominasi manusia terhadap manusia. Negara bisa saja mendelegasikan penggunaan
kekuatannya untuk memaksa. Oleh karena itu, negara akan tetap menjadi sumber
utama bagi dibenarkannya penggunaan kekerasan.
Politik berkaitan langsung dengan
negara sebagai sumber asalnya kekuasaan untuk memaksa. Pendekatannya terhadap
politik tidak diragukan, seperti pemikir lainnya, politik lebih dilihat sebagai
persoalan tentang “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (who gets what, when, and how). Bagi
Weber, politik adalah usaha untuk mendapatkan kekuasaan atau pengaruh antar
negara dan di antara kelompok – kelompok yang ada dalam suatu negara.
Para politisi melakukannya melalui
kekuasaan kepemimpinan politik negara. Untuk meraih kedudukan tersebut, sifat
ambisius merupakan ciri dari seorang politisi dan para pemimpin politik.
Penghargaan terhadap seorang pemimpin politik, akan tergantung kepada apa yang
dilakukannya dan tanggung jawabnya tidak dapat dan tidak boleh ditolak ataupun
dialihkan. Bagi Weber, sikap ambisius dari politisi bersumber pada sesuatu yang
menjadi keyakinannya, politisi akan lebih banyak digerakkan oleh keyakinannya.
Apa pun bentuk dan sumbernya, keyakinan tertentu harus selalu ada pada diri
politisi. (Simmons and Dvorin, 1977:189).
Sebagai orang yang penuh keyakinan,
seperti ditegaskan Weber seorang politisi ia tidak akan mengejar kepentingan
pribadinya secara besar-besaran dalam melaksanakan kekuasaan negara.
Sebaliknya, politisi harus menghindarkan diri dari konsekuensi dari setiap
kebijakannya. Hal ini sangat berbeda dari pegawai birokrasi sipil yang harus
menghindarkan diri dari konsekuensi tersebut. Dalam analisis Weber, politisi
akan dihadapkan pada dilemma terus meneerus antara alat (sarana) dengan tujuan.
Politisi harus memecahkan konflik yang dihadapi ini. Oleh karena itu, seorang
politisi adalah seorang manusia yang penuh kesadaran. Dalam beberapa hal, dia
pun akhirnya akan sampai pada suatu titik dimana dia akan mengatakan “disinilah
saya berdiri dan saya tidak dapat bertindak yang lainnya”. Itulah sesuatu yang
sebenarnya terjadi pada manusia (manusia sejati) dan yang menggerakkannya..,
(Simmons and Dvorin 1977:190).
Seorang politisi, apakah ia memperoleh
kekuasaan secara legal (melalui undang-undang atau peraturan yang diciptakan
secara rasional) atau melalui kepatuhan umum (kewenangan yang berasal dari
keturunan sebelumnya), atau melalui karisma (kualitas kepemimpinan pribadi), ia
akan selalu berusaha mempertahankn dominasinya secara terus menerus.
Kelangsungan dominasi ini akan tergantung kepada “kelangsungan
administrasi”-nya. Weber menggambarkan seorang politisi di dalam sistem
semidemokrasi sebagai subjek untuk mentransfer kehendak, menolak, atau menarik
diri pada saat-saat tertentu. Sebalikanya, hanya pejabat administrasi yang
dapat memberikan persyaratan bagi kelangsungan agar dominasi kekuasaan negara
tidak terhancurkan. Konsekuensinya, secara politik para pemimpin yang dominan
akan tergantung kepada administrasi yang mantap, berkelangsungan, dan efisien.
Tugas utama pegawai birokrasi sipil
adalah menangani administrasi yang tidak memihak (impartial administration). Ia kurang menaruh perhatian pada
nilai-nilai, tujuan, atau konsekuensi yang timbul. Dalam kenyataannya, seperti
digambarkan Weber bahwa aparat birokrasi sipil adalah mereka yang secara ideal
sedikit sekali memiliki kesamaan dengan politisi. Barangkali Weber-lah yang
menegaskan pembenaran secara klasik memisahkan sisi kebijakan dengan
administrasi (perumusan dengan pelaksanaan kebijakan), atau perlunya pemisahan
(dikotomi) antara politik, dan administrasi publik.
Weber menyajikan secara detail
tentang organisasi birokrasi ideal dalam karyanya berjudul Birokrasi yang diterbitkan pada tahun 1922. Weber percaya bahwwa
salah satu karakteristik utama masyarakat industry adalah dorongan untuk
merasionalkan proses sosial dan ekonomi. Rasionalisas yang di maksud adalah … the calculated matching means and ends to
achieve social and economic objectives with the greatest possible efficiency (pemaduan
sarana dan tujuan sosial dan ekonomi seefisien mungkin (Islamy, 2003:18). Oleh
karena itu, jenis birokrasi “tipe ideal” atau “model organisasi yang rasional”.
Weber memusatkan perhatian pada
pertanyaan: mengapa orang merasa wajib untuk mematuhi perintah tanpa melakukan
penilaian kaitan dirinya dengan nilai dari perintah tersebut. Fokus ini
merupakan salah satu bagian dari penekanan Weber terhadap organisasi
kemasyarakatan sebagai keseluruhan dan peranan negara pada khususnya. Ia
mengatakan bahwa kepercayaan bawahan terhadap legitimasi akan menghasilkan
kestabilan pola kepatuhan dan perbedaan sumber perintah dalam sistem
organisasi. Otoritas tidak tergantung pada ajakan kepada kepentingan bawahan dan
perhitungan untung rugi pribadi, atau pada motif suka tidak suka, itulah
sebabnya tidak ada otoritas yang tergantung pada motif-motif ideal. Weber
mengemukakan tiga tipe ideal dari otoritas, yaitu sebagai berikut :
1. Otoritas Tradisional
Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola pengawasan sebagaimana di berlakukan dimasa lampau dan yang kini masih berlaku. Legitimasi amat dikaitkan dengan kewajiban penduduk untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi kepalanya. Para pemegang otoritas merasa takut untuk merenggangkan cara pengerjaan tradisional, karena perubahan berikutnya akan menggerogoti sumber-sumber legitimasinya.
2. Otoritas Kharismatik
Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sifat pribadi lainnya yang amat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatik tidaklah diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidaklah dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin seperti ini dan segala komandonya selalu dipatuhi oleh para pengikutnya yang dipandang dapat memimpinnya ke arah pencapaian tujuannya. Para pengikut mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang memaksanya untuk patuh. Menurut Weber tipe otoritas tradisional dan tipe kharismatik terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi industri.
3. Otoritas Legal-Rasional
Otoritas
ini didasarkan atas aturan yang bersifat tidak pribadi impersonal yang ditetapkan
secara legal. Kesetiaan atau kepatuhan adalah manakala seseorang melaksanakan
otoritas kantornya hanya dengan loyalitas formal dan pimpinannya dan hanya
dalam jangkauan otoritas kantornya. Otoritas legal-raisonal memang didasarkan
atas aturan-aturan yang pasti. Aturan bisa saja terdapat perubahan untuk dapat
mengikuti perubahan yang terjadi didalam lingkungannya secara sistematis, dan
mengandung perkiraan masa mendatang.
Weber terkenal dengan konsepnya
mengenai organisasi Birokrasi yang ideal dengan menyertakan 5 karakteristik utama,
antara lain :
Ø Pertama, adanya pembagian tugas pekerjaan (division of labor) untuk masing-masing
pegawai yang telah ditetapkan secara jelas dan dilaksanakan oleh pegawai yang
memiliki keahlian khusus (specialized
expert) dan bertanggung jawab bagi tercapainya tujuan secara efektif.
Ø Kedua, adanya prinsip hierarki dalam
organisasi (the principle of hierarchy)
di mana struktur organisasi yang ada di bawah berada dalam pengendalian dan
pengawasan struktur organisasi di atasnya.
Ø Ketiga, pelaksanaan tugas diatur oleh sistem
peraturan (system of rules / code)
yang terus diberlakukan secara konsisten untuk menjamin adanya uniformitas
kinerja setiap petugas dan tanggung jawab masing-masin pegawai bagi pelaksanaan
tugasnya.
Ø Keempat, pegawai ideal adalah pegawai yang
bekerja atas semangat formalistic
impersonality atau sine era et
studio, yaitu bekerja atas dasar ketidakberpihakan kepada siapa pun agar
terlaksana pekerjaan secara efisien, adanya perlakuan yang tidak adil bagi
semua orang serta adanya persamaan dalam pelayanan administrasi.
Menurut Weber, jika kelima karakteristik di atas
diaplikasikan ke dalam Birokrasi maka Birokrasi tersebut dapat dikatakan
legal-rasional. Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana
pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat).
Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga
memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk
pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga. Rasional
artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas
subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada
akumulasi kekuatan absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak
lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi
Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
ü Kolegialitas.
Kolegialitas
adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan.
Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan
sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah
korupsi kekuasaan.
ü Pemisahan Kekuasaan.
Pemisahan
kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua
badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan
bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber,
tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
ü Administrasi Amatir.
Administrasi
amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk
mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat
melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia)
“kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi
kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang
mendampingi dan mengawasi selama pelaksanaan tugas tersebut.
ü Demokrasi Langsung.
Demokrasi
langsung berguna dalam membuat orang bertanggungjawab kepada suatu majelis.
Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna
mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini
berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat
secara keseluruhan.
ü Representasi.
Representasi
didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya.
Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi
kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa
anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Dalam pandangan Weber, jika suatu organisasi memiliki
dasar-dasar berupa prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan tersebut di atas,
maka organisasi tersebut akan dapat mengatasi ketidakefisienan dan
ketidakpraktisan yang sangat tipikal yang ditemukan pada banyak organisasi pada
masa itu. Weber juga melihat bahwa birokrasi merupakan bentuk paling efisien
dari suatu organisasi dan merupakan instrumen yang paling efisien dari kegiatan
administrasi berskala besar. Jika orang membicarakan tentang organisasi, maka
akan selalu kembali pada analisis dan pemikiran Weber. Hingga kini, pengertian
orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Max Weber.
Tapi dari semua konsep pemikiran Birokrasi dari Max Weber bukan berarti semua
setuju atau mengikuti konsepnya, ada sebagian orang yang menentang ataupun
mengkritik konsep Birokrasi dari Max Weber itu, sehingga muncullah konsep lain
selain dari konsep yang dimiliki oleh Max Weber.
1. KELEBIHAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER
] Ada Aturan, Norma, dan Prosedur untuk
Mengatur Organisasi
Dalam model
teori birokrasi Max Weber, ditekankan mengenai pentingnya peraturan. Weber
percaya bahwa peraturan seharusnya diterapkan secara rasional dan harusnya ada
peraturan untuk segala hal dalam organisasi. Tentunya, peraturan-peraturan itu
tertulis. Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan
tugas-tugasnya
] Ada Spesialisasi Pekerjaan dan Job
Description yang Jelas
Dalam sistem
ini, terdapat pembagian tugas yang spesifik, seperti halnya mesin, dimana
setiap orang hanya mengerjakan pekerjaan tertentu yang telah didelegasikan
kepadanya. Dengan demikian, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan cepat
serta tidak ada benturan kepentingan karena masalah overlapping pekerjaan.
]Ada Hierarki Otoritas yang Formal, Sehingga Memudahkan Pengkoordinasian
Dengan adanya hierarki otoritas, masing-masing pekerja tahu dimana posisinya
dan otomatis akan mengikuti perintah supervisor/atasannya, sehingga proses
pengkoordinasian pekerja menjadi mudah.
2. KEKURANGAN SISTEM BIROKRASI MAX WEBER
] Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan
Cenderung Kaku
Karena sistem
hierarki perusahaan, maka bawahan akan segan menyapa atasannya kalau tidak
benar-benar perlu. Hal ini menciptakan suasana formal yang malah cenderung kaku
dalam organisasi.
] Aturan dan Kontrol yang Terlalu Rinci
Menyebabkan
Impersonality atau Melupakan Unsur-Unsur Kemanusiaan. Tidak ada antusiasme maupun keceriaan dalam organisasi karena segala sesuatunya
sudah diatur sedemikian rupa. Manusia disamakan dengan mesin yang tidak punya
hati dan hanya bekerja demi perusahaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Indah
Mindarti, Lely.2007. “Revolusi
Administrasi Publik Aneka Pendekatan
dan Teori Dasar”.Malang : Bayumedia Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar