Kamis, 25 September 2014

MAKALAH PANCASILA: ETIKA PANCASILA SEBAGAI CERMINAN PRIBADI BANGSA INDONESIA



MAKALAH PANCASILA
PRODI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
2014/2015
ETIKA PANCASILA SEBAGAI CERMINAN PRIBADI BANGSA INDONESIA






Disusun oleh :

1.      Mariyatul Kiptiyah
2.      R. Rr. Ariska Desy Ariyanti
3.      Tisha Windianty K.
4.      Zakiyyatun Nafiisah


                                              Dosen Pembina
Prof. Drs. Achmad Fauzi DH, MA.
194508151974121002

 
                 Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma, baik norma hukum maupun norma kenegaraan lainnya. Di samping itu, terkandung juga pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif.Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan Negara maka diwujudkan dalam norma-norma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :
    1.      Norma Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.

    2.      Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum.Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma.


    A.    PENGERTIAN ETIKA

Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok.
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.Etika juga merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

     1.      Etika Umum
Mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
     2.      Etika Khusus
Membahas prinsip-prinsip dari etika umum dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun sebagai makhluk sosial (etika sosial).

    B.     PENGERTIAN NILAI, NORMA, DAN MORAL

     1.      Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok.Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu objeknya.Dengan demikian, nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan yang lainnya.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik.Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur pengindraan manusia sebagai subjek penilaian, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa, dan kepercayaan.

Dengan demikian nilai adalah sesuatu yang sangat berharga, berguna, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivasi) sikap dan perilaku manusia.Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya.Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.

     2.      Hierarki Nilai
Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu-masyarakat terhadap suatu objek.Misalnya kalangan materealis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material. Max Schele menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu:

1)      Nilai Kenikmatan
Nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, mnederita, atau tidak enak.
2)      Nilai Kehidupan
Nilai-nilai penting bagi kehidupan, yaitu jasmani, kesehatan dan kesejahteraan umum.
3)      Nilai Kejiwaan
Nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni.
4)      Nilai Kerohanian
Pada tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.

Sementara itu, Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga yaitu :

a)      Nilai Material
Segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia
b)      Nilai Vital
Segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
c)      Nilai Kerohanian

            Segala sesuatu yang bersifat rohani manusia.Nilai kerohanian sendiri dibedakan menjadi empat tingkatan sebagai berikut.

·         Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal, atau cipta manusia.
·         Nilai keindahan/estetis, yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
·         Nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
·         Nilai religious, yaitu nilai kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak

                        Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia.Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.

     3.      Nilai Dasar, Nilai Instrumental, Nilai Praksis

a.       Nilai Dasar

Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati oleh panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut.Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu.Contohnya, hakikat Tuhan, manusia, atau makhluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan  maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kuasa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang, dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

b.      Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar.Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau Negara, maka nilai instrumental itu merupakan arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat dikatakan juga bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal UUD yang merupakan penjabaran Pancasila.
c.       Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata, dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental.Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai oleh kedua nilai tersebut dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

    4.      Pengertian Norma
Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertical (Tuhan), horizontal (masyarakat) alamiah (alam sekitar).
Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi.Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum , dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

    5.      Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat, atau kelakuan.Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia.
Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah –kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.

6.      Hubungan Nilai, Norma, dan Moral
Keterkaitan nilai, norma, dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila individu, masyarakat, bangsa dan Negara menhendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.

    C.    APLIKASI NILAI, NORMA DAN MORAL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai dan norma dan juga moral dalam kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan nilai sosial merupakan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Contohnya, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Dan dapat juga dicontohkan, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Itu adalah yang dimaksud dan juga contoh dari nilai.

    D.    PENYIMPANGAN SISTEM ETIKA PANCASILA DI INDONESIA
Akhir-akhir ini Indonesia diwarnai dengan kegaduhan maraknya Kasus Korupsi yang menghiasi media dan menjadi perbincangan seru di dalam masyarakat. Tengok saja, hampir setiap hari masyarakat disuguhi mulai dari kasus Korupsi Bailout Bank Century, Kasus Hambalang, Kasus Simulator dan terakhir Impor daging sapi. Sudah banyak pejabat negara, pengusaha, politisi dan komponen masyarakat lainnya yang mendekam di hotel Prodeo dan dicap sebagai koruptor. Namun ternyata hal itu tidak membuat jemu, faktanya kecenderungan peristiwa korupsi semakin banyak.
Padahal bangsa Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang merupakan pancaran nilai luhur bangsa. Namun, benarkah nilai-nilai lihur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai ‘kompas’ atau ‘rambu-rambu’ untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Di sisi lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat. Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku demikian jelas merupakan pelanggaran terhadap Pancasila.

  E.  PERAN MAHASISWA DALAM MENANGGULANGI KORUPSI SEBAGAI PENYIMPANGAN SISTEM ETIKA PANCASILA

1.    Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi.

Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri. Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.

2.     Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah.

Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.

3.     Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial  terkait dengan kepentingan publik.
4.      Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.

5.       Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa       hingga ke tingkat pusat/nasional.

6.         Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.

7.       Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

    F.     SIMPULAN
Pendukung dari Pancasila sebagai sistem etika adalah Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Di setiap saat dan dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum di sila ke dua pada Pancasila, yaitu “Kemanusian yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Dengan menjiwai butir-butir Pancasila masyarakat dapat bersikap sesuai etika baik yang berlaku dalam masyarakat, bangsa dan negara.

    G.    SARAN
Hubungan nilai dengan norma adalah nilai mendasari terbentuknya pola perilaku. Pola perilaku akan bisa terwujud sesuai denagan yang kita inginkan apabila terdapat kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan yang memendorong dan mengarahkan untuk mewujudkan pola perilaku itu menjadi perbuatan atau tindakan konkret. Dalam bersosialisasi kita juga haru menerapkan aturan pancasila sebagai sitem etika, dengan norma-norma dan ketentuan yang telah ada.



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Internet :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar